Di Balik Laku Kerasnya Mobil Listrik di Cina
Kontak Perkasa Futures - Apa yang terkenal dari Cina? Selain panda tentu juga tembok besar nan tersohor. Namun, ada satu lagi yang tak kalah terkenal dari Cina adalah polusi udaranya. Polusi udara di kota-kota besar di Cina sudah sangat parah. World Health Organization (WHO) menyatakan batas aman polusi udara atau PM2,5 hanya 25 mikro gram per kubik. Pada 2014, polusi udara kategori PM2,5 di Beijing pernah mencapai 300 mikro gram per kubik. Penyebab polusi udara dahsyat antara lain masifnya penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik dan melonjaknya jumlah kendaraan bermotor di jalan. Geram dengan kondisi itu, Oktober 2014 lalu, Greenpeace Asia menuliskan seruan “Blue Sky now!” dalam ukuran besar di depan Menara Drum, menara bersejarah di Utara Kota Beijing. Pada enam bulan pertama 2017, polusi udara di Negeri Tirai Bambu ini semakin memburuk. Kementerian Perlindungan Lingkungan Cina mengatakan penyebab memburuknya polusi di 338 kota di Cina adalah musim dingin. Sebab di musim dingin, penggunaan pemanas ruangan meningkat. Dengan begitu, penggunaan batu bara juga meningkat karena konsumsi listrik juga naik. Polusi yang akut ini tentu ancamannya adalah nyawa. Sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal PLOS One pada 2015 menyatakan setiap tahun, polusi udara berkontribusi atas kematian 1,6 juta orang di Cina atau sekitar 4.400 orang per hari. Cina memang harus membenahi penggunaan sumber energinya untuk bisa memperbaiki kualitas udara dan mengurangi sumbangan emisi karbon di atmosfer. Untuk mengurangi penggunaan energi kotor, pemerintah Cina mendorong produksi kendaraan listrik terutama mobil listrik. Penggunaan mobil listrik di Cina langsung meningkat. Sejak 2015 sampai akhir tahun lalu, jumlah registrasi mobil listrik baru di Cina mengalahkan Amerika Serikat. Menurut International Energy Agency, penjualan mobil listrik di Cina tumbuh 381 persen dari 2014-2016. Pada 2014, tercatat hanya 73.180 mobil listrik baru yang terdaftar. Dua tahun kemudian, angkanya melonjak menjadi 351.861. Jumlah ini sudah mengalahkan pendaftaran mobil listrik baru di Amerika Serikat yang hanya 159.000 unit, sebagai tanda penetrasi mobil listrik di Cina masih sangat besar. Sejak 2007-2016, penjualan mobil listrik di seluruh dunia memang terus melaju kencang. Menurut laporan International Energy Agency, pada 2016, jumlah kendaraan listrik di dunia melebihi 2 juta unit. Sekitar 750 ribu di antaranya adalah mobil yang baru dibeli tahun itu dan hampir separuhnya terdaftar di Cina. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, penjualan mobil listrik di Cina pada 2016 itu adalah yang tertinggi sejak 2007. Pada 2010 saja, penjualan mobil listrik hanya sekitar 10 ribu unit. Pada 2012, angkanya melebihi 100 ribu unit. Pada 2014, ia melewati 200 ribu unit dan 2015 mencapai 550 ribu unit. Peningkatan penjualan ini berdampak pada peningkatan pangsa pasar, dari nol persen pada 2007 menjadi 1,1 persen pada 2016. Badan Energi Internasional memperkirakan jumlah mobil listrik yang beredar mencapai 9-20 juta unit pada 2020 dan sekitar 40-70 juta unit pada 2025. Di Cina, mobil listrik yang paling banyak dibeli adalah merek dari produksi lokal, lebih laris dibandingkan Tesla dan Nissan. Pada 2020, Cina menargetkan ada lima juta kendaraan listrik beredar di jalanan. Minat pembelian mobil listrik di Cina tak sepenuhnya didasari kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan energi terbarukan, melainkan dipicu subsidi pemerintah yang nilainya tak kecil. Di Shanghai pada tahun lalu, mobil listrik Chery eQ dibanderol hanya 60.000 yuan setelah subsidi, atau sekitar Rp118 juta. Namun bila tanpa subsidi, harganya mencapai 100.000 yuan ini artinya pemerintah mensubsidi hampir separuh harga. Langkah pemerintah Cina tentu bukan tanpa alasan, selain memerangi polusi udara yang parah, mereka juga terikat dengan kesepakatan global khususnya Kesepakatan Paris. Komitmen dalam Kesepakatan Paris mendorong Cina untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Perlahan, panel surya mulai masif digunakan. Meskipun belum menghilangkan penggunaan batu bara, penggunaan energi terbarukan meningkat paling tinggi di antara negara-negara G20. Kesepakatan Paris menargetkan menahan laju temperatur global hingga di bawah 2°C dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Target ini dianggap penting untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim. Negara-negara yang telah meratifikasi kesepakatan itu harus menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan cara yang tidak mengganggu produksi pangan. Mereka juga harus menciptakan arus keuangan yang konsisten dengan jalur menuju emisi gas rumah kaca yang rendah. Subsidi mobil listrik adalah salah satu cara Cina bisa menggapai target dalam kesepakatan itu. Subsidi akan terus digelontorkan sampai 2020 dengan porsi subsidi yang akan dikurangi perlahan. Sebab jika negara-negara G20 mau mencapai Kesepakatan Paris, pada 2020 emisi karbon dan gas rumah kaca seharusnya sudah mencapai puncaknya dan mulai turun perlahan - Kontak Perkasa Futures Sumber:tirto.id