Cuaca Tak Bersabahat, Rupiah Masuk Jalur Merah
PT KP Press - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Apa mau dikata, 'cuaca' memang sedang tidak bersahabat. Pada Senin (3/8/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.530 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Idul Adha alias stagnan. Namun rupiah kemudian masuk jalur merah. Pada pukul 09:32 WIB, rupiah melemah tipis 0,03% ke Rp 14.535/US$. Meski sepanjang Juli melemah lebih dari 2%, tetapi rupiah perkasa pada pekan terakhir. Sejak 20 Juli, rupiah menguat 1,22% di hadapan greenback. Bahkan mata uang Tanah Air pernah menguat tujuh hari beruntun. Oleh karena itu, rupiah agak rentan terserang profit taking. Penguatan yang cukup tajam akhir-akhir ini akan membuat investor tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah yang terpapar aksi jual pun melemah. Kemudian, investor juga menantikan rilis data inflasi pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun tim memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) berada di 0,065%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 1,72% dan inflasi inti tahunan di 2,115%. Sedangkan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Juli sebesar -0,03% MtM, deflasi. Dengan demikian, inflasi tahunan lebih tipis ketimbang proyeksi pasar yaitu di 1,61%. Proyeksi BI menggambarkan inflasi tahunan terendah sejak Mei 2000. Data inflasi bisa menjadi sentimen positif buat rupiah. Inflasi yang rendah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang Ibu Pertiwi akan menguntungkan karena nilainya tidak terlalu banyak 'dimakan' oleh inflasi. Namun, inflasi yang woles juga bisa menjadi sentimen negatif. Sebab, ada gambaran permintaan melemah. Saat permintaan lesu, prospek ekonomi nasional menjadi penuh tanda tanya karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu, rupiah juga terbeban oleh rilis data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur periode Juli. IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia pada Juli sebesar 46,9 pada Juli. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 39,1. Angka Juli merupakan yang tertinggi sejak Februari. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 50, berarti dunia usaha masih 'tiarap', belum ada ekspansi. Jadi meski PMI manufaktur Indonesia mencapai titik tertinggi sejak Februari, tetapi sejatinya masih terkontraksi. "Dunia usaha masih ragu-ragu untuk berinvestasi dalam menambah kapastitas produksi, penyerapan tenaga kerja serta pembelian bahan baku dan barang modal masih dikurangi. Angka PMI yang masih di bawah 50 mengindikasikan industri manufaktur belum pulih," sebut keterangan tertulis IHS Markit. Permintaan yang melemah membuat dunia usaha pusing tujuh keliling karena harus bertahan dengan margin yang tipis. Akibatnya, terjadi efisiensi di sana-sini, salah satunya mengurangi jumlah karyawan. Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belum selesai. "Penyerapan tenaga kerja berkurang drastis. Selain itu, dunia usaha juga mengurangi biaya dengan menunda pembelian bahan baku dan barang modal, penjualan hanya mengandalkan stok yang sudah ada. Ini membuat inventori semakin menipis," lanjut keterangan IHS Markit. Akan tetapi, ke depan bukannya tanpa harapan. Seiring pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), aktivitas masyarakat meningkat yang diharapkan mampu mendorong permintaan. "Dunia usaha tetap optimistis memandang tahun depan, dua pertiga responden memperkirakan produksi akan meningkat dalam 12 bulan mendatang. Optimisme ini didasarkan atas pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang kemungkinan membaik pada bulan-bulan ke depan," pungkas keterangan tertulis IHS Markit. - PT KP Press
Sumber : cnbcindonesia.com